Bagaimana cara berbisnis yang efisien dan efektif? Pertanyaan ini
diajukan spontan seorang mahasiswa kepada usahawan Sudono Salim (Liem
Sioe Liong) di sebuah acara rileks di Hotel Grand Hyatt tahun 1996. Oom
Liem, sapaan akrab usahawan itu, hanya tertawa, tetapi kemudian hanya
terdiam.
Om Liem, yang hari Minggu, 10 Juni lalu, meninggal dunia
di Singapura, tetap diam seribu bahasa sekalipun terus dipancing untuk
berbicara. Oom Liem memang dikenal tidak suka banyak bicara.
Dua
temannya yang hadir di sana, usahawan Eka Tjipta Widjaja dan Sukanta
Tanudjaja dari PT Sinar Sahabat, juga diam saja. Namun, akhirnya ketika
melihat mahasiswa tadi masih duduk, Oom Liem pun tidak tega.
”Saya
ini orang lapangan, mana mengerti pertanyaan seperti itu,” ujarnya. Ia
mengatakan, berbisnis itu pada intinya meraih untung. Kalau tidak
laba, bukan dagang namanya. Namun, laba di sini tidak asal laba, tetapi
dengan cara benar. Tidak menabrak aturan, tidak merugikan atau
mengganggu orang lain.
Ia menambahkan, hal penting yang harus
digenggam erat adalah ”menjaga nama” (reputasi). Jangan menipu, dan
kalau berutang, bayarlah utang itu. Jangan sampai tidak bayar utang.
Tak baik itu. ”Sekali dua, kamu masih bisa menipu. Tetapi, pada
kesempatan berikutnya, tidak ada lagi yang percaya kepada kamu. Itu
celaka namanya!”
Oom Liem lalu bercakap-cakap akrab dengan Eka
dan Sukanta. Usia mereka tidak berselisih jauh. Saat itu, Oom Liem
berusia 81 tahun, Eka Tjipta 75 tahun, dan Sukanta 68 tahun.
Usahawan
Tong Djoe, sahabat baik Oom Liem, pada kesempatan lain mengatakan, apa
yang disampaikan Oom Liem adalah pokok-pokok berbisnis yang benar.
Tong mengatakan, berbisnis pada intinya memang untuk meraih profit.
Namun, para pebisnis harus memahami bahwa meraih profit di sini dalam
konteks mengail keuntungan dengan jalan lurus.
Tidak menipu,
tidak mengelabui, tidak membohongi, tidak curang. Jangan menjual barang
kedaluwarsa. Stok barang masih sangat banyak, tetapi dibilang habis.
Hanya untuk meraih untung ketika barang langka. Sebab, harga otomatis
naik saat permintaan lebih tinggi dibandingkan dengan suplai.
Menjaga
nama baik juga digarisbawahi Tong Djoe. Ia mengatakan, dulu ketika
generasi pertama masih aktif berdagang, kepercayaan menjadi sendi
bisnis yang amat memesona. Pinjaman ratusan juta rupiah (amat besar
pada awal 1970-an) bisa diberikan begitu saja tanpa tanda terima.
Saat
utang dikembalikan dengan bunga, yang meminjami tidak bersedia
menerima bunga. Ia hanya mau menerima pokok utang. Menerima bunga
berarti mencederai pertemanan dalam bisnis.
Ini membuat yang
tadinya berutang merasa berkewajiban menjaga perangai. Jangan sampai
melakukan tindakan tidak patut. Ia pun mesti melakukan hal yang sama
kepada usahawan lain yang membutuhkan. Jadilah bisnis dengan sistem
kepercayaan itu berjalan mulus dan damai.
Dalam era kini,
utang-piutang berjumlah besar selalu butuh saksi, tanda terima, pakai
akta notaris, dan jaminan berlapis, tetapi kerap masih dibayangi
masalah. Bagi Tong, itu mencederai filosofi bisnis yang baik dan benar.
Mestinya, kata Tong, langgam kita berbisnis kembali ke masa
lalu yang penuh damai, persahabatan tulus, persaingan sehat, dan setia
kawan yang dalam
Source : http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2012/06/18/07204677/Berbisnis.Itu.Sederhana