Masalah mendasar usaha kecil yang paling menonjol menyangkut menyediakan
pembiayaan usaha alias modal usaha. Kebutuhan modal sangat terasa pada
saat seseorang ingin memulai usaha baru.
Alhasil, biasanya bila motivasinya kuat, seseorang akan tetap memulai usaha kecil tetapi dengan modal seadanya.
Pada usaha yang sudah berjalan, modal tetap menjadi kendala lanjutan
untuk berkembang. Masalah yang menghadang usaha kecil menyangkut
kemampuan akses pembiayaan, akses pasar dan pemasaran, tata kelola
manajemen usaha kecil serta akses informasi. Kesulitan usaha kecil
mengakses sumber-sumber modal karena keterbatasan informasi dan
kemampuan menembus sumber modal tersebut. Padahal pilihan sumber modal
sangat banyak dan beragam.
Lembaga keuangan bank adalah sumber modal terbesar yang dapat
dimanfaatkan oleh pelaku usaha kecil. Namun untuk bermitra dengan bank,
usaha kecil dituntut menyajikan proposal usaha yang feasible atau layak
usaha dan menguntungkan. Disamping itu lembaga keuangan bank
mensyaratkan usaha kecil harus bankable alias dapat memenuhi ketentuan
bank. Inilah persoalannya. Akibat bank berlaku prudent atau hati-hati,
maka makin mempersulit usaha kecil untuk mengakses sumber modal. Usaha
kecil yang sulit mengakses bank akan mencari jalan pintas. Kemana lagi
kalau bukan kepada para pelempar uang alias rentenir tetapi usaha kecil
harus rela dengan biaya uang yang mencekik. Ada anggapan keliru. Seolah
olah, usaha kecil tidak mempermasalahkan biaya bunga yang tinggi dari
rentenir. Adalah anggapan yang sangat keliru. Mereka terpaksa memakai
uang rentenir karena terpaksa akibat sulit mengakses modal dari bank.
Usaha kecil yang berhasil menembus kendala akses modal, pasar dan
informasi. Kendala beralih pada yang lebih advance. Seperti pengembangan
produk, pengembangan pasar, melakukan ekspor, hingga mempertahakan
kualitas produk dan kuantitas produksi. Pada situasi ini, usaha kecil
dituntut meningkatkan pengetahuan dan ketrampilan melakukan inovasi
produk melalui pemanfaatan teknologi tepat guna. Untuk itu usaha kecil
harus mengenal lebih dekat konsumennya know your customers alias
kiwaisi.
Persoalan Kemudahan Pendanaan Menjadi Masalah Klasik
Sebelumnya,
Undang-Undang (UU) Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM)
yang disahkan, belum cukup untuk menjawab persoalan yang ada dalam UKM
selama ini. Misalnya, keterbatasan database secara nasional belum
terakomodasi dalam UU ini.
"Jumlah UMKM yang ada 50 juta,
secara nasional juga belum ada update data. Apakah yang dulu mikro
menjadi usaha kecil, dan kecil menjadi usaha besar," tutur Ketua Ikatan
Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Bandung, Ina Primiana Syinardalam
diskusi UU UMKM di aula Redaksi Pikiran Rakyat Jln. Soekarno-Hatta 147
Bandung. Acara ini dihadiri Pemred II Pikiran Rakyat H. Widodo
Asmowiyoto.
Menurut Ina, dalam UU tersebut, pendanaan
seharusnya merupakan bagian dari pengembangan usaha, bukan penciptaan
iklim yang kondusif. "Pendanaan ini kan menjadi masalah klasik dalam
UMKM, namun rupanya UU terbaru ini juga belum menjawab secara riil
bagaimana UMKM mendapat dana dengan mudah. Bahkan, kejelasan agunan dan
bentuk jaminan yang menjadi persoalan utama tidak dijabarkan secara
mendetail dalam UU ini," ucapnya.
Ina mengatakan, sebelum UU
ini dibuat dan disahkan, seharusnya kaji dulu permasalahan dasar yang
ada dalam UMKM. Dengan demikian, UU dapat dijadikan patokan bagi semua
pelaku UKM dan pihak lain yang berkompeten di dalamnya, serta dapat
dijalankan dengan optimal dan efektif.
Menanggapi hal tersebut,
tenaga ahli tim penyusun UU UMKM pada Kementerian Koperasi dan Usaha
Kecil Menengah (UMKM) Suwandi yang hadir dalam diskusi mengatakan,
penerapan UU ini akan lebih jelas setelan enam PP pendukung terbentuk.
Keenam PP itu adalah tentang koordinasi, perizinan, kemitraan,
pengawasan dan pengendalian, sanksi, serta tata cara pengembangan usaha.
"Keenam PP itu harus selesai dalam setahun, terhitung setelah
pemerintah mengundang-kannya. Tetapi, kami sepakat untuk melakukan
percepatan, karena ada Pemilu 2009," tuturnya.
Terlepas dari
segala kekurangan yang dikeluhkan banyak pihak, Suwandi yakin, UU UMKM
ini dapat menjawab kebutuhan pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah.
Sebut saja kepastian untuk mendapat pengaturan yang lebih berpihak,
kebutuhan sumber pendanaan, solusi untuk menjawab kebuntuan kriteria,
kemitraan, koordinasi, penjaminan, dan perizinan. "Inti dari UU ini
sebenarnya pemberdayaan, untuk menumbuhkembangkan UMKM di Indonesia,"
ungkapnya.
Ketua Jaringan Produktif Koperasi dan Usaha Kecil
Menengah (KUKM) Jabar Iwan Gunawan mengatakan, dia mendukung UU
tersebut sebagai payung hukum bagi pelaku UMKM. Namun, ia juga
menyayangkan UU tersebut lebih menitikberatkan aspek kemitraan dan
pembiayaan dibandingkan dengan sumber daya manusia. "Dalam UU tersebut,
kemitraan dan pembiayaan dibuat bab khusus, padahal menurut saya
pengembangan SDM sangat strategis dalam penguatan kapasitas UMKM," ujar
Iwan. Usaha Kecil dan Menengah (UKM) mempunyai peran yang strategis
dalam pembangunan ekonomi nasional, oleh karena selain berperan dalam
pertumbuhan ekonomi dan penyerapan tenaga kerja juga berperan dalam
pendistribusian hasil-hasil pembangunan. Dalam krisis ekonomi yang
terjadi di negara kita sejak beberapa waktu yang lalu, dimana banyak
usaha berskala besar yang mengalami stagnasi bahkan berhenti
aktifitasnya, sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) terbukti lebih
tangguh dalam menghadapi krisis tersebut.[1] Mengingat pengalaman yang
telah dihadapi oleh Indonesia selama krisis, kiranya tidak berlebihan
apabila pengembangan sektor swasta difokuskan pada UKM, terlebih lagi
unit usaha ini seringkali terabaikan hanya karena hasil produksinya
dalam skala kecil dan belum mampu bersaing dengan unit usaha lainnya.
Pengembangan
UKM perlu mendapatkan perhatian yang besar baik dari pemerintah maupun
masyarakat agar dapat berkembang lebih kompetitif bersama pelaku ekonomi
lainnya. Kebijakan pemerintah ke depan perlu diupayakan lebih kondusif
bagi tumbuh dan berkembangnya UKM. Pemerintah perlu meningkatkan
perannya dalam memberdayakan UKM disamping mengembangkan kemitraan usaha
yang saling menguntungkan antara pengusaha besar dengan pengusaha
kecil, dan meningkatkan kualitas Sumber Daya Manusianya.[2]
Kondisi UKM di Indonesia Saat Ini
Sektor ekonomi UKM yang memiliki proporsi unit usaha terbesar
berdasarkan statistik UKM tahun 2004-2005 adalah sektor (1) Pertanian,
Peternakan, Kehutanan dan Perikanan; (2) Perdagangan, Hotel dan
Restoran; (3) Industri Pengolahan; (4) Pengangkutan dan Komunikasi;
serta (5) Jasa ? Jasa.[3] Sedangkan sektor ekonomi yang memiliki
proporsi unit usaha terkecil secara berturut-turut adalah sektor (1)
Pertambangan dan Penggalian; (2) Bangunan; (3) Keuangan, Persewaan dan
Jasa Perusahaan; serta (4) Listrik, Gas dan Air Bersih.[4] Secara
kuantitas, UKM memang unggul, hal ini didasarkan pada fakta bahwa
sebagian besar usaha di Indonesia (lebih dari 99 %) berbentuk usaha
skala kecil dan menengah (UKM). Namun secara jumlah omset dan aset,
apabila keseluruhan omset dan aset UKM di Indonesia digabungkan, belum
tentu jumlahnya dapat menyaingi satu perusahaan berskala nasional.[5]
Data-data tersebut menunjukkan bahwa UKM berada di sebagian besar
sektor usaha yang ada di Indonesia. Apabila mau dicermati lebih jauh,
pengembangan sektor swasta, khususnya UKM, perlu untuk dilakukan
mengingat sektor ini memiliki potensi untuk menjaga kestabilan
perekonomian, peningkatan tenaga kerja, meningkatkan PDB, mengembangkan
dunia usaha, dan penambahan APBN dan APBD melalui perpajakan.[6]
Pengembangan Sektor UKM
Pengembangan terhadap sektor swasta merupakan suatu hal yang tidak
diragukan lagi perlu untuk dilakukan. UKM memiliki peran penting dalam
pengembangan usaha di Indonesia. UKM juga merupakan cikal bakal dari
tumbuhnya usaha besar. "Hampir semua usaha besar berawal dari UKM.[7]
Usaha kecil menengah (UKM) harus terus ditingkatkan (up grade) dan aktif
agar dapat maju dan bersaing dengan perusahaan besar. Jika tidak, UKM
di Indonesia yang merupakan jantung perekonomian Indonesia tidak akan
bisa maju dan berkembang.[8]
Satu hal yang perlu diingat dalam pengembangan UKM adalah bahwa
langkah ini tidak semata-mata merupakan langkah yang harus diambil oleh
Pemerintah dan hanya menjadi tanggung jawab Pemerintah. Pihak UKM
sendiri sebagai pihak yang dikembangkan, dapat mengayunkan langkah
bersama-sama dengan Pemerintah. Selain Pemerintah dan UKM, peran dari
sektor Perbankan juga sangat penting terkait dengan segala hal mengenai
pendanaan, terutama dari sisi pemberian pinjaman atau penetapan
kebijakan perbankan. Lebih jauh lagi, terkait dengan ketersediaan dana
atau modal, peran dari para investor baik itu dari dalam maupun luar
negeri, tidak dapat pula kita kesampingkan.
Pemerintah pada intinya memiliki kewajiban untuk turut memecahkan
tiga hal masalah klasik yang kerap kali menerpa UKM, yakni akses pasar,
modal, dan teknologi yang selama ini kerap menjadi pembicaraan di
seminar atau konferensi.[9] Secara keseluruhan, terdapat beberapa hal
yang harus diperhatikan dalam melakukan pengembangan terhadap unit usaha
UKM, antara lain kondisi kerja, promosi usaha baru, akses informasi,
akses pembiayaan, akses pasar, peningkatan kualitas produk dan SDM,
ketersediaan layanan pengembangan usaha, pengembangan cluster, jaringan
bisnis, dan kompetisi.[10]
Perlu disadari, UKM berada dalam suatu
lingkungan yang kompleks dan dinamis. Jadi, upaya mengembangkan UKM
tidak banyak berarti bila tidak mempertimbangkan pembangunan (khususnya
ekonomi) lebih luas.[11] Konsep pembangunan yang dilaksanakan akan
membentuk aturan main bagi pelaku usaha (termasuk UKM) sehingga upaya
pengembangan UKM tidak hanya bisa dilaksanakan secara parsial, melainkan
harus terintegrasi dengan pembangunan ekonomi nasional dan dilaksanakan
secara berkesinambungan.[12] Kebijakan ekonomi (terutama pengembangan
dunia usaha) yang ditempuh selama ini belum menjadikan ikatan kuat bagi
terciptanya keterkaitan antara usaha besar dan UKM.[13]
Saat ini,
Kementerian Koperasi dan Usaha Kecil Menengah berencana untuk
menciptakan 20 juta usaha kecil menengah baru tahun 2020.[14] Tahun 2020
adalah masa yang menjanjikan begitu banyak peluang karena di tahun
tersebut akan terwujud apa yang dimimpikan para pemimpin ASEAN yang
tertuang dalam Bali Concord II. Suatu komunitas ekonomi ASEAN, yang
peredaran produk-produk barang dan jasanya tidak lagi dibatasi batas
negara, akan terwujud. Kondisi ini membawa sisi positif sekaligus
negatif bagi UKM. Menjadi positif apabila produk dan jasa UKM mampu
bersaing dengan produk dan jasa dari negara-negara ASEAN lainnya, namun
akan menjadi negatif apabila sebaliknya. Untuk itu, kiranya penting bila
pemerintah mendesain program yang jelas dan tepat sasaran serta
mencanangkan penciptaan 20 juta UKM sebagai program nasional.
Permasalahan yang Dihadapi UKM
Pada umumnya, permasalahan yang dihadapi oleh Usaha Kecil dan Menengah (UKM), antara lain meliputi:[15]
A. Faktor Internal
1. Kurangnya Permodalan dan Terbatasnya Akses Pembiayaan
Permodalan merupakan faktor utama yang diperlukan untuk mengembangkan
suatu unit usaha. Kurangnya permodalan UKM, oleh karena pada umumnya
usaha kecil dan menengah merupakan usaha perorangan atau perusahaan yang
sifatnya tertutup, yang mengandalkan modal dari si pemilik yang
jumlahnya sangat terbatas, sedangkan modal pinjaman dari bank atau
lembaga keuangan lainnya sulit diperoleh karena persyaratan secara
administratif dan teknis yang diminta oleh bank tidak dapat dipenuhi.
Persyaratan yang menjadi hambatan terbesar bagi UKM adalah adanya
ketentuan mengenai agunan karena tidak semua UKM memiliki harta yang
memadai dan cukup untuk dijadikan agunan.
Terkait dengan hal ini, UKM juga menjumpai kesulitan dalam hal akses
terhadap sumber pembiayaan. Selama ini yang cukup familiar dengan mereka
adalah mekanisme pembiayaan yang disediakan oleh bank dimana
disyaratkan adanya agunan. Terhadap akses pembiayaan lainnya seperti
investasi, sebagian besar dari mereka belum memiliki akses untuk itu.
Dari sisi investasi sendiri, masih terdapat beberapa hal yang perlu
diperhatikan apabila memang gerbang investasi hendak dibuka untuk UKM,
antara lain kebijakan, jangka waktu, pajak, peraturan, perlakuan, hak
atas tanah, infrastruktur, dan iklim usaha.[16]
2. Kualitas Sumber Daya Manusia (SDM)
Sebagian besar usaha kecil tumbuh secara tradisional dan merupakan
usaha keluarga yang turun temurun. Keterbatasan kualitas SDM usaha kecil
baik dari segi pendidikan formal maupun pengetahuan dan keterampilannya
sangat berpengaruh terhadap manajemen pengelolaan usahanya, sehingga
usaha tersebut sulit untuk berkembang dengan optimal. Disamping itu
dengan keterbatasan kualitas SDM-nya, unit usaha tersebut relatif sulit
untuk mengadopsi perkembangan teknologi baru untuk meningkatkan daya
saing produk yang dihasilkannya.
1. Lemahnya Jaringan Usaha dan Kemampuan Penetrasi Pasar
Usaha kecil yang pada umumnya merupakan unit usaha keluarga, mempunyai
jaringan usaha yang sangat terbatas dan kemampuan penetrasi pasar yang
rendah, ditambah lagi produk yang dihasilkan jumlahnya sangat terbatas
dan mempunyai kualitas yang kurang kompetitif. Berbeda dengan usaha
besar yang telah mempunyai jaringan yang sudah solid serta didukung
dengan teknologi yang dapat menjangkau internasional dan promosi yang
baik.
2. Mentalitas Pengusaha UKM
Hal penting yang seringkali
pula terlupakan dalam setiap pembahasan mengenai UKM, yaitu semangat
entrepreneurship para pengusaha UKM itu sendiri.[17] Semangat yang
dimaksud disini, antara lain kesediaan terus berinovasi, ulet tanpa
menyerah, mau berkorban serta semangat ingin mengambil risiko.[18]
Suasana pedesaan yang menjadi latar belakang dari UKM seringkali
memiliki andil juga dalam membentuk kinerja. Sebagai contoh, ritme kerja
UKM di daerah berjalan dengan santai dan kurang aktif sehingga
seringkali menjadi penyebab hilangnya kesempatan-kesempatan yang ada.
3. Kurangnya Transparansi
Kurangnya transparansi antara generasi awal pembangun UKM tersebut
terhadap generasi selanjutnya. Banyak informasi dan jaringan yang
disembunyikan dan tidak diberitahukan kepada pihak yang selanjutnya
menjalankan usaha tersebut sehingga hal ini menimbulkan kesulitan bagi
generasi penerus dalam mengembangkan usahanya.
B. Faktor Eksternal
1. Iklim Usaha Belum Sepenuhnya Kondusif
Upaya pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dari tahun ke tahun
selalu dimonitor dan dievaluasi perkembangannya dalam hal kontribusinya
terhadap penciptaan produk domestik brutto (PDB), penyerapan tenaga
kerja, ekspor dan perkembangan pelaku usahanya serta keberadaan
investasi usaha kecil dan menengah melalui pembentukan modal tetap
brutto (investasi).[19] Keseluruhan indikator ekonomi makro tersebut
selalu dijadikan acuan dalam penyusunan kebijakan pemberdayaan UKM serta
menjadi indikator keberhasilan pelaksanaan kebijakan yang telah
dilaksanakan pada tahun sebelumnya.[20]
Kebijaksanaan Pemerintah
untuk menumbuhkembangkan UKM, meskipun dari tahun ke tahun terus
disempurnakan, namun dirasakan belum sepenuhnya kondusif. Hal ini
terlihat antara lain masih terjadinya persaingan yang kurang sehat
antara pengusaha-pengusaha kecil dan menengah dengan pengusaha-pengusaha
besar.
Kendala lain yang dihadapi oleh UKM adalah mendapatkan
perijinan untuk menjalankan usaha mereka. Keluhan yang seringkali
terdengar mengenai banyaknya prosedur yang harus diikuti dengan biaya
yang tidak murah, ditambah lagi dengan jangka waktu yang lama. Hal ini
sedikit banyak terkait dengan kebijakan perekonomian Pemerintah yang
dinilai tidak memihak pihak kecil seperti UKM tetapi lebih mengakomodir
kepentingan dari para pengusaha besar.
2. Terbatasnya Sarana dan Prasarana Usaha
Kurangnya informasi
yang berhubungan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi,
menyebabkan sarana dan prasarana yang mereka miliki juga tidak cepat
berkembang dan kurang mendukung kemajuan usahanya sebagaimana yang
diharapkan. Selain itu, tak jarang UKM kesulitan dalam memperoleh tempat
untuk menjalankan usahanya yang disebabkan karena mahalnya harga sewa
atau tempat yang ada kurang strategis.
3. Pungutan Liar
Praktek pungutan tidak resmi atau lebih dikenal
dengan pungutan liar menjadi salah satu kendala juga bagi UKM karena
menambah pengeluaran yang tidak sedikit. Hal ini tidak hanya terjadi
sekali namun dapat berulang kali secara periodik, misalnya setiap minggu
atau setiap bulan.
4. Implikasi Otonomi Daerah
Dengan berlakunya Undang-undang No.
22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah yang kemudian diubah dengan UU
No. 32 Tahun 2004, kewenangan daerah mempunyai otonomi untuk mengatur
dan mengurus masyarakat setempat. Perubahan sistem ini akan mempunyai
implikasi terhadap pelaku bisnis kecil dan menengah berupa
pungutan-pungutan baru yang dikenakan pada UKM. Jika kondisi ini tidak
segera dibenahi maka akan menurunkan daya saing UKM. Disamping itu,
semangat kedaerahan yang berlebihan, kadang menciptakan kondisi yang
kurang menarik bagi pengusaha luar daerah untuk mengembangkan usahanya
di daerah tersebut.
5. Implikasi Perdagangan Bebas
Sebagaimana diketahui bahwa AFTA
yang mulai berlaku Tahun 2003 dan APEC Tahun 2020 berimplikasi luas
terhadap usaha kecil dan menengah untuk bersaing dalam perdagangan
bebas. Dalam hal ini, mau tidak mau UKM dituntut untuk melakukan proses
produksi dengan produktif dan efisien, serta dapat menghasilkan produk
yang sesuai dengan frekuensi pasar global dengan standar kualitas
seperti isu kualitas (ISO 9000), isu lingkungan (ISO 14.000), dan isu
Hak Asasi Manusia (HAM) serta isu ketenagakerjaan. Isu ini sering
digunakan secara tidak fair oleh negara maju sebagai hambatan (Non
Tariff Barrier for Trade). Untuk itu, UKM perlu mempersiapkan diri agar
mampu bersaing baik secara keunggulan komparatif maupun keunggulan
kompetitif.
6. Sifat Produk dengan Ketahanan Pendek
Sebagian besar produk
industri kecil memiliki ciri atau karakteristik sebagai produk-produk
dan kerajinan-kerajian dengan ketahanan yang pendek. Dengan kata lain,
produk-produk yang dihasilkan UKM Indonesia mudah rusak dan tidak tahan
lama.
7. Terbatasnya Akses Pasar
Terbatasnya akses pasar akan
menyebabkan produk yang dihasilkan tidak dapat dipasarkan secara
kompetitif baik di pasar nasional maupun internasional.
8. Terbatasnya Akses Informasi
Selain akses pembiayaan, UKM juga
menemui kesulitan dalam hal akses terhadap informasi. Minimnya informasi
yang diketahui oleh UKM, sedikit banyak memberikan pengaruh terhadap
kompetisi dari produk ataupun jasa dari unit usaha UKM dengan produk
lain dalam hal kualitas. Efek dari hal ini adalah tidak mampunya produk
dan jasa sebagai hasil dari UKM untuk menembus pasar ekspor. Namun, di
sisi lain, terdapat pula produk atau jasa yang berpotensial untuk
bertarung di pasar internasional karena tidak memiliki jalur ataupun
akses terhadap pasar tersebut, pada akhirnya hanya beredar di pasar
domestik.
Langkah yang Sudah Ditempuh
Sesungguhnya pemerintah telah banyak mengeluarkan kebijakan untuk
pemberdayaan UKM, terutama lewat kredit bersubsidi dan bantuan teknis.
Kredit program untuk pengembangan UKM bahkan dilakukan sejak 1974.
Kredit program pertama UKM, Kredit Investasi Kecil (KIK) dan Kredit
Modal Kerja Permanen (KMKP), yang menyediakan kredit investasi dan modal
kerja permanen, dengan masa pelunasan hingga 10 tahun, dan suku bunga
bersubsidi.[21]
Setelah deregulasi perbankan pada 1988, kredit UKM
dengan bunga bersubsidi secara berangsur dihentikan, diganti dengan
kredit bank komersial. Selain itu, donor internasional juga menyusun
kredit program investasi bagi UKM dalam mata uang rupiah. Antara 1990
dan 2000, Bank Indonesia mendanai berbagai kredit program dengan Kredit
Likuiditas Bank Indonesia (KLBI), yang dapat dikelompokkan menjadi tiga
kategori, yaitu Kredit Usaha Tani (KUT), Kredit Pemilikan Rumah
Sederhana/Sangat Sederhana (KPRS/SS), dan Kredit Usaha Kecil dan Mikro
yang disalurkan melalui koperasi dan bank perkreditan rakyat.[22] Selain
itu, NPWP sebagai prasyarat pengajuan kredit di Perbankan juga telah
dihapuskan, dimana hal ini memberikan peluang dan kesempatan yang lebih
besar bagi kita untuk mengakses modal dari sisi perbankan.[23]
Selain peran dari Pemerintah, dunia akademisi, lembaga swadaya
masyarakat, dan lembaga penelitian, juga telah melakukan beberapa
kegiatan yang bertujuan untuk mengembangkan UKM. Salah satu diantaranya
adalah program GTZ-RED yang diadakan atas dukungan GOPA/Swisscontact
yang telah berjalan sejak tahun 2003. Program ini bergerak langsung ke
daerah-daerah dengan menggunakan metode enabling environment dengan
fokus pada Business Climate Survey (BCS) dan Regulatory Impact
Assessment (RIA) yang dilakukan oleh Technical Assisstance (TA). Tim TA
ini dimotori oleh Center for Micro and Small Enterprise Dynamics
(CEMSED) Universitas Satya Wacana. Tim ini telah melakukan survey,
pelatihan, workshop terhadap UKM di daerah-daerah, menciptakan jaringan
dengan seluruh pihak terkait UKM termasuk Pemerintah Daerah, serta
membuat daftar Peraturan Daerah yang perlu untuk diperbaiki.
Langkah yang Dapat Ditempuh
Dengan mencermati permasalahan yang dihadapi oleh UKM dan
langkah-langkah yang selama ini telah ditempuh, maka kedepannya, perlu
diupayakan hal-hal sebagai berikut:[24]
1. Penciptaan Iklim Usaha yang Kondusif
Pemerintah perlu mengupayakan terciptanya iklim yang kondusif antara
lain dengan mengusahakan ketenteraman dan keamanan berusaha serta
penyederhanaan prosedur perijinan usaha, keringanan pajak dan
sebagainya.
2. Bantuan Permodalan
Pemerintah perlu memperluas
skema kredit khusus dengan syarat-syarat yang tidak memberatkan bagi
UKM, untuk membantu peningkatan permodalannya, baik itu melalui sektor
jasa finansial formal, sektor jasa finansial informal, skema penjaminan,
leasing dan dana modal ventura. Pembiayaan untuk UKM sebaiknya
menggunakan Lembaga Keuangan Mikro (LKM) yang ada maupun non bank.
Lembaga Keuangan Mikro bank antara Lain: BRI unit Desa dan Bank
Perkreditan Rakyat (BPR).
Sampai saat ini, BRI memiliki sekitar
4.000 unit yang tersebar diseluruh Indonesia. Dari kedua LKM ini sudah
tercatat sebanyak 8.500 unit yang melayani UKM. Untuk itu perlu
mendorong pengembangan LKM agar dapat berjalan dengan baik, karena
selama ini LKM non koperasi memilki kesulitan dalam legitimasi
operasionalnya.
3. Perlindungan Usaha
Jenis-jenis usaha
tertentu, terutama jenis usaha tradisional yang merupakan usaha golongan
ekonomi lemah, harus mendapatkan perlindungan dari pemerintah, baik itu
melalui undang-undang maupun peraturan pemerintah yang bermuara kepada
saling menguntungkan (win-win solution).
4. Pengembangan Kemitraan
Perlu dikembangkan kemitraan yang saling membantu antar UKM, atau
antara UKM dengan pengusaha besar di dalam negeri maupun di luar negeri,
untuk menghindarkan terjadinya monopoli dalam usaha. Selain itu, juga
untuk memperluas pangsa pasar dan pengelolaan bisnis yang lebih efisien.
Dengan demikian, UKM akan mempunyai kekuatan dalam bersaing dengan
pelaku bisnis lainnya, baik dari dalam maupun luar negeri.
5. Pelatihan
Pemerintah perlu meningkatkan pelatihan bagi UKM baik dalam aspek
kewiraswastaan, manajemen, administrasi dan pengetahuan serta
keterampilannya dalam pengembangan usahanya. Selain itu, juga perlu
diberi kesempatan untuk menerapkan hasil pelatihan di lapangan untuk
mempraktekkan teori melalui pengembangan kemitraan rintisan.
6. Membentuk Lembaga Khusus
Perlu dibangun suatu lembaga yang khusus bertanggung jawab dalam
mengkoordinasikan semua kegiatan yang berkaitan dengan upaya
penumbuhkembangan UKM dan juga berfungsi untuk mencari solusi dalam
rangka mengatasi permasalahan baik internal maupun eksternal yang
dihadapi oleh UKM.
7. Memantapkan Asosiasi
Asosiasi yang telah
ada perlu diperkuat, untuk meningkatkan perannya antara lain dalam
pengembangan jaringan informasi usaha yang sangat dibutuhkan untuk
pengembangan usaha bagi anggotanya.
8. Mengembangkan Promosi
Guna lebih mempercepat proses kemitraan antara UKM dengan usaha besar
diperlukan media khusus dalam upaya mempromosikan produk-produk yang
dihasilkan. Disamping itu, perlu juga diadakan talk show antara asosiasi
dengan mitra usahanya.
9. Mengembangkan Kerjasama yang Setara
Perlu adanya kerjasama atau koordinasi yang serasi antara pemerintah
dengan dunia usaha (UKM) untuk menginventarisir berbagai isu-isu
mutakhir yang terkait dengan perkembangan usaha.
10. Mengembangkan Sarana dan Prasarana
Perlu adanya pengalokasian tempat usaha bagi UKM di tempat-tempat yang
strategis sehingga dapat menambah potensi berkembang bagi UKM tersebut