Usaha tusuk sate tak bisa dipandang sebelah mata. Di tangan Hadi Santoso, usaha yang terlihat remeh itu bisa memberikan lapangan pekerjaan bagi ribuan warga Batu.
Usaha
yang ditekuni Hadi Santoso memang belum lama. Baru terhitung 1,5 tahun
lalu. Bahkan, di Batu, tempat pria berusia 47 tahun itu tinggal dan
menekuni usaha tersebut juga masih terbilang baru. Saat ini baru
meninjak usia tiga bulan.
Namun, usaha itu banyak diminati
warga Batu. Hari demi hari, semakin banyak warga yang mendatangi rumah
Hadi di Dusun Glonggong, Temas, untuk bergabung dalam usaha itu.
Sedikitnya ada sekitar 9 ribu kepala keluarga yang sudah bergabung
dengan usaha tusuk sate.
Maklum, untuk bekerja dengan Hadi,
tidak perlu modal. Yang dibutuhkan hanya kerelaan waktu dan tenaga.
Peralatan maupun bahan baku bisa didapatkan dari pria yang sudah mencoba
berbagai macam jenis usaha ini. Mulai berdagang sayur, buah, bertani,
berdagang kayu, bibit kayu, hingga jadi pengusaha keramik.
Setiap hari, rumah Hadi selalu banyak didatangi orang. Silih berganti
warga mendatangi rumah Hadi. Ada yang datang mengambil bayaran, ada juga
yang mau bergabung menjadi perajin tusuk sate. "Masih sangat banyak
yang butuh pekerjaan. Dan saya senang bisa membantu mereka," kata Hadi.
Bergabung menjadi anggota perajin tusuk sate yang dirintis Hadi
memang tergolong unik. Warga yang membutuhkan pekerjaan dapat dengan
mudah mendapatkan penghasilan. Tidak perlu biaya. Bahkan untuk
mendapatkan peralatan pemilah tusuk sate senilai Rp 80 ribu itu, warga
juga tidak perlu membayar. Semua bahan baku bisa didapatkan dari Hadi.
Sedangkan hasilnya juga akan dibeli. Praktis, yang dibutuhkan hanya
keseriusan untuk mendapatkan pekerjaan.
Menjadi perajin tusuk
sate hanya perlu pernyataan keseriusan. Begitu ada pernyataan
keseriusan, tidak berselang lama peralatan pun akan segera dikirim.
Tentunya dengan jaminan peralatan tersebut tidak dijual serta hasil
pembuatan tusuk sate itu dijual kembali kepada Hadi. "Silakan saja
dijual ke orang lain. Tapi, tidak ada jaminan bakal berlangsung lama,"
ujar ketua P4KB (Perlindungan Perhubungan Pedagangan Pasar Pagi Kota
Batu) ini.
Saking mudahnya, kurang dari tiga bulan, Hadi sudah
membagikan 9 ribu peralatan yang didatangkan dari Jerman. Saat ini,
peralatan tersebut banyak tersebar ke Kecamatan Batu. Untuk kecamatan
ini, ada 6 ribu peralatan. Sisanya menyebar di Kecamatan Junrejo dan
Bumiaji.
Dalam seminggu, ribuan peralatan yang dibagikan itu
bisa menghasilkan sekitar 4 ton tusuk sate. Jika dirupiahkan sekitar Rp
12 juta dengan harga Rp 3 ribu setiap kilogram. Dengan demkian, per
bulan ada perputaran uang sebesar Rp 48 juta. "Ini masih permulaan
karena sebagian besar perajin lainnya juga masih dalam tahap
pembelajaran," kata bapak lima anak ini.
Bagi para perajin, pendapatan yang diperoleh juga tidak sedikit. Perajin yang menghabiskan satu batang bambu
akan dapat upah bersih Rp 60 ribu. Rata-rata, dalam seminggu seorang
perajin bisa menghabiskan 3 sampi 4 batang pohon bambu. Dengan demikian,
penghasilan yang didapatkan berkisar antara 180 ribu sampai 240 ribu per minggu.
Usaha tusuk sate yang digeluti Hadi sebenarnya hanya pengembangan dari
usaha yang digeluti sebelumnya. Sebelum mengembangkan tusuk sate di
Batu, pria yang menyandang status sarjana ekonomi Universitas Islam
Malang (Unisma) itu sudah melakukannya di Tumpang. Di wilayah Tumpang,
Hadi sudah memiliki seribu perajin tusuk sate.
Modal yang
dikeluarkan Hadi memang juga tidak sedikit. Awal membuka usaha itu, dia
menghabiskan dana Rp 100 juta. Tetapi, modal usaha itu bisa segera
kembali setelah beberapa kali pengiriman barang.
Meski saat ini sudah banyak yang bergabung dengan usahanya, Hadi masih
merasa belum puas. Dia berharap semakin banyak masyarakat yang
memanfaatkan peluang tersebut. Apalagi, pria yang sehari-harinya juga
berdagang daging ayam ini mengetahui masih banyak masyarakat yang
membutuhkan pekerjaan.
Teknologi alat dan mesin pembuatan tusuk sate memang sudah banyak
digunakan. Sementara itu, tidak bagi masyarakat Desa/Kecamatan
Kutawaringin Kab. Bandung, pembuatan tusuk sate tetap dilakukan dengan
cara manual.
Seperti yang dilakukan diana (25), warga RT 3 RW 5 Kampung Bojongkoneng, Desa Kutawaringin, yang menggantungkan hidupnya dari usaha pembuatan tusuk sate.
Sebilah bambu dipotong-potong berukuran panjang 20 cm. Kemudian
dibelah tipis-tipis seukuran tusuk sate yang biasa kita temui, lalu
dibersihkan. "Harus dicuci biar tusuk satenya bersih," ujar Diana,
ditemui di rumahnya.
Ia mulai mengerjakan pembuatan tusuk sate sejak dua tahun silam.
Dalam sehari, ia biasa menghasilkan 500 tusuk sate. Kemudian tusuk sate
itu dijualnya kepada pengumpul. "Saya membeli bambu dari bandar.
Harganya seratus ribu untuk empat ikat, satu ikatnya ada tiga bilah
bambu," ujarnya.
Sebilah bambu yang panjangnya sekitar 2-3 meter, bisa menghasilkan hingga dua ribu
tusuk sate. "Itu bisa dikerjakan dalam waktu tiga sampai empat hari,
tergantung cuaca. Soalnya, sebelum dijual kan harus dijemur dulu selama
dua hari agar tusuk sate benar-benar kering," kata Diana.
Untuk membuat tusuk sate, ia harus memilih bambu minimal berusia enam
bulan. Semakin tua umur bambu, jumlah tusuk sate yang dihasilkan bisa
semakin banyak.
"Kalau umur bambunya sudah tua, daging bambunya tebal, jadi tusuk
satenya bisa makin banyak," ujar Diana, sambil tekun membelah bambu.
Salah seorang pedagang tusuk sate. Atang (45) mengatakan, Desa
Kutawaringin memiliki potensi besar untuk menghasilkan tusuk sate.
"Dalam sehari, saya bisa mengumpulkan 3.000 tusuk sate hanya dari Desa
Kutawaringin," ujar Atang, sambil menyebutkan beberapa kampung yang
merupakan sentra pembuatan tusuk sate di Desa Kutawaringin. Kampung tersebut misalnya Ciherang, Pasirkeas, Bojongkoneng, dan Cigondok.
Selain dijual di Pasaranyar Kec. Kutawaringin, Atang mengaku, biasa
menjual tusuk sate tersebut ke Pasar Sayati dan Pasar Caringin.
"Permintaan selalu ada, soalnya kan hampir semua orang suka makan
sate. Tapi kemampuan warga hanya segini, jadi ya saya hanya bisa menjual
segitu," kata Atang.